Sabtu, 06 Desember 2014

Musium Tsunami Wadah Untuk Belajar Tetang Bencana

Musium Tsunami Aceh (Topher)
Peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh

TSUNAMI and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Syiah Kuala University, Dr. Didik Sugiyanto menjelaskan pasca gempa dan tsunami ada pembelajaran positif. Masyarakat sudah memahami mengenai gempa dan tsunami. Bahkan masyarakat sudah paham ketika gempa terjadi harus menyelamatkan diri melalui jalur evakuasi yang aman. “Ini saya kira nilai positifnya,” katanya.

Nilai positif yang lainnya adalah dijadikannya Universitas Syiah Kuala sebagai pusat studi tentang kegempaan. Bahkan sekarang ini banyak yang mengambil S3 tentang gempa di Aceh. “Saya salah satu pengajarnya,” ujar dia.

Untuk menunjang Aceh sebagai pusat studi kegampaan tersebut pemerintah bekerjasama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai penyedia lahan dan pengelola museum, Pemerintah Kota Banda Aceh sebagai penyedia sarana dan prasarana lingkungan museum. 

Musium tsunami Aceh dibangun untuk mengenang kedashatan Gempa dan Tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004. Saat ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang ingin melihat puing-puing dan korban yang terekam kamera pasca kejadian. Tidak kurang dari 240 Ribu jiwa menjadi korban saat terjadi gampa dan disertai tsunami yang dasyat tersebut. 

“Musium Tsunami tersebut didedikasikan untuk masyarakat yang ingin belajar dan melihat puing kedasyatan pasca tsunami,” ujar salah seorang Jurnalis lokal, Yayan Zamzami yang menemani Jurnalis Radar Bengkulu. 

Ketika memasuki areal Musium akan disambut oleh petugas yang ramah dan mempersilakan untuk menitipkan tas ditempat penitipan. 
“Silakan titipkan tas disana pak, karena masuk kedalam musium tidak boleh membawa tas, kecuali kamera dan Handphone,” ujar salah seorang petugas musium sambil tersenyum ramah.

Sebelum masuk ke musium pengunjung akan melalui helikopter polisi yang hancur akibat kedasyatan Gempa bumi. Helikopter polisi yang hancur tersebut sengaja ditempatkan pada sisi sebelah kiri pintu masuk agar pengunjung sudah merasakan betapa dasyatnya gempa dan tsunami. Banyak pengunjung menjadikannya sebagai obyek poto dengan latar belakang helikopter. 

Lalu masuk ke lorong yang gelap dibuat melingkar, dengan dinding yang tinggi. Pengunjung akan disuguhi suasana yang berbeda dengan yang di luar musium. Lorong gelap dan disertai percikan air dari atas yang menambahkan kesan khasnya musium Tsunami Aceh. Setelah melalui lorong pengunjung akan menaiki tangga dengan kemiringan 35 derajat untuk menuju ke lantai satu. Di ruangan yang pertama dimasuki adalah ruangan IT dimana pengunjung dapat menyaksikan dari layar monitor gambar-gambar yang menceritakan kehancuran bangunan dan korban jiwa melalui tayangan slide. 

Bangunan megah berbentuk kapal besar yang sedang berlabuh tersebut didesain bertingkat dimana di setaip ruangannya memiliki makna tersendiri. Setelah melalui runagan IT pengunjung dibawa pada sebuah perenungan lebih dalam melalui ruang The light of God. Ini adalah sebuah ruang berbentuk sumur silinder yang menyorotkan cahaya ke atas sebuah lubang dengan tulisan arab “Allah” dengan dinding sumur dipenuhi nama para korban. 

Ruangan yang mengandung nilai-nilai religi cerminan dari Hablumminallah (konsep hubungan manusia dan Allah). Selain nama-nama korban tsunami Aceh yang ditempelkan di dinding ruangan tersebut pengunjung akan mendengarkan rekaman suara yang sedang melasfazhkan ayat-ayat Alquran. 

Setelah itu pengunjung akan memasuki lantai satu di dalam ruangan dipajang poto-poto yang mengambarkan pasca kejadian. Ada sepeda dan sepeda motor yang rusak dan asli setelah gempa dan tsunami dipajang disana. 

Motor jenis bebek jet coolet dan sepeda angin yang hancur bahkan blok mesinnya hampir terlepas membuktikan goncangan gempa dan dorongan gelobang tsunami sangat dasyat. 

Ada banyak ruangan yang bisa menambah wawasan pengunjunng. Diantaranya ruangan proses terjadinya gempa bumi, lalu ada proses terjadinya tsunami. Bagi pengunjung yang ingin mencoba merasakan goncangan gempa ada rungan khusus dan alat simulasi gempanya atau goncangan. 

Setelah pengunjung puas memasuki ruangan, pengunjung akan mendapatkan gambaran dan pengalaman yang jelas mengenai kedasyatan Gempa dan Tsunami yang melanda provinsi Aceh tersebut. Musium tsunami yang dibangun di atas lahan lebih kurang 10,000 meter persegi yang terletak di Ibukota provinsi Aceh yaitu Kota Banda Aceh. Di jalan Iskandar Muda, dekat simpang jam, di seberang lapangan Blang Padang, persisnya di bekas kantor Dinas Peternakan Aceh sebelah pemakaman Belanda/Kerkhoff). 

Sedangkan anggaran dana untuk pembangunan Musium tersebut sekitar Rp 140 miliar dengan rincian Rp70 milyar dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk bangunan dan setengahnya lagi dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 

Musium yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2009 dengan arsitek Ridwan Kamil (Walikota Bandung sekarang). Museum ini terdiri dari 4 lantai dengan luas sekitar 2500 meter persegi yang dimaksudkan untuk mengenang peristiwa bencana alam, gempa bumi dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 dengan korban jiwa sekitar 240 ribu jiwa. 

Selain sebagai sarana edukasi, musium ini juga dirancang sebagai tempat evakuasi jika bencana tsunami kembali melanda. “Sampai sekarang tetap ramai dikunjungi oleh turis maupun wisatawan dari dalam negeri,” kata Yayan. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar