Sabtu, 06 Desember 2014

Bangunan Dirancang Tahan Gempa

Sepuluh Tahun Tsunami Aceh

Masjid Raya Baiturrahman (Topher)
Belum hilang diingatan kita bagaimana dahsyatnya bencana tsunami di Serambi Mekah, Aceh, 2004 silam. Kala itu, Aceh bak disapu samudera hingga meluluhlantakkan provinsi terbarat di Indonesia tersebut. Tak terhitung berapa nyawa melayang. Dan kini, di 10 tahun kisah kelam itu. Aceh mulai berbenah. Mereka bangkit dan telah siap bersaing. 

H CHRISTOPHER-BENGKULU

Mengunjungi Aceh, mendapatkan pengalaman tersendiri bagi setiap orang. Kota yang dahulunya sempat porak poranda ini memang mengisahkan banyak hal menarik dan tempat untuk dikunjungi. Misalnya museum tsunami yang dibangun menyerupai sebuah kapal, dan pengunjung akan disuguhkan mengenai kedahsyatan gelombang tsunami dan jumlah korban serta bangunan yang hancur serta negara yang terdampak akibat gempa dan Tsunami tersebut.

Lalu ada musium pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung I yang terdorong ke daratan sejauh lima kilometer  dan sekarang berlokasi di Gampong (Desa) Punge Blang Cut, Kota Banda Aceh. “Ada lima rumah di bawah PLTD Apung I tersebut dan sama sekali tidak bisa dievakuasi,” ujar Yayan sambil menunjuk kebawah PLTD Apung I.  

Museum PLTD Apung I
PLTD Apung tersebut masih berfungsi hanya saja ketika dihidupkan getarannya sangat kencang karena berada didaratan. “Pernah ada yang mengusulkan untuk dipindahkan ke laut lagi, agar bisa berfungsi untuk membantu menyuplai listrik di Banda Aceh namun biayanya besar sekali,” kata Yayan.

Setelah dilakukan penghitungan oleh para ahli setidaknya membutuhkan dana Rp40 Miliar untuk mengembalikan PLTD tersebut ke laut. PLTD dengan bobot mati 26 ributon ini jelas membutuhkan biaya yang sangat besar untuk memindahkanya. “Jarak lima kilometer dan melalui perkampungan yang padat penduduk, akhirnya diputuskan untuk dijadikan musium, dan dana Rp40 miliar tersebut bisa digunakan untuk membangun yang lainnya,” Jelas dia.


Lalu juga ada Kapal nelayan yang terdorong oleh tsunami dan berada di atas beton rumah penduduk dan ada 11 titik kuburan massal. “Aceh sudah berubah, pembangunannya sudah lebih terkonsep dan memperhatikan aspek lingkungan,” kata Yayan.

Gedung bertingkat nan megah dibangun di Banda Aceh dengan arsitetur yang tahan gempa serta bentuk-bentuk yang khas. Bangunan tersebut bahkan memberikan daya tarik tersendiri bagi pengunjung dan pelancong yang ingin menjadikan Banda Aceh sebagai kota tujuan untuk berlibur bersama keluarga. “Tidak akan menyesal bila berkunjung ke Banda Aceh,” ujar Yayan sambil Promosi.

Penduduk kota Banda Aceh yang ramah dan berlalu lalangnya becak motor menambah kesan tersendiri bagi Kota Banda Aceh. “Ongkos becak motor tidak mahal, berkisar antara lima ribu sampai dengan 20 ribu tergantung dengan kesepakatan antara calon penumpang dan penarik becaknya,” ujar Yayan seorang jurnalis lokal menjelaskan. 

Pembangunan di Banda Aceh sekarang harus memperhatikan jalur evakuasi bencana. Jalur yang paling cepat untuk evakuasi dan meyelamatkan diri adalah jalan raya. “Itulah salah satu alasan mengapa jalan di Banda Aceh dibangun lebar dan dua jalur. Agar memudahkan penduduk untuk menyelematkan diri dan lari ke tempat yang lebih tinggi bila terjadi gempa disertai tsunami,” kata dia.
Kapal Nelayan Terbawa Arus Tsunami

Dr. Didik Sugiyanto dari Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Syaih Kuala University mengatakan ada beberapa hal yang membuat masyarakat sadar bencana. Diantaranya ada kesadaran kolektif masyarakat untuk membuat jalur evakuasi menuju titik penyelamatan. Lalu pembangunan yang berbasiskan jalur evakuasi bencana gempa dan tsunami. “Belajar dari pengalaman Gempa dan disertai Tsunami 26 Desember lalu yang merenggut setidaknya 250an jiwa, membuat masyarakat dan pemerintah sadar pentingnya pembangunan yang memperhatikan lingkungan,” kata dia.(**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar